Konteks Masyarakat Multikultural di Indonesia

Pendidikan Agama Kristen dalam konteks di Indonesia

Dalam konteks masyarakat di Indonesia, tidak bisa kita pungkiri akan adanya kemajemukan. Indonesia negeri terkaya akan adanya keragaman budaya dan agama. Banyak keragaman suku, budaya, agama, disetiap daerah di kepulauan Indonesia. Hal ini sangatlah penting untuk kita masyarakat yang tinggal di Indonesia. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus tahu akan adanya keragaman di Indonesia. Realita ini tidak bisa kita pungkiri, bahkan selalu kita jumpai dalam lingkungan kita sehari-hari.

Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk manusia yang beriman dan taat kepada Tuhan dan berahklak mulia, mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan serta pengenalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual atau pun kolektif  kemasyarakatan.
Lilik Kristianto, menyebutkan beberapa tokoh dan lembaga gereja yang memberi definisi tentang PAK.
Heironimus (345-420)
PAK adalah pendidikan yang tujuannya mendidik jiwa sehingga menjadi bait Tuhan. “Haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang disurga adalah sempurna”
Agustinus (345-430)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mengajar orang supaya “melihat Allah” dan “hidup bahagia”. Dalam pendidikan ini para pelajar sudah diajar secara lengkap dari ayat pertama Kitab Kejadian “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” sampai “arti penciptaan itu pada masa gereja sekarang ini”. Pelajaran Alkitab difokuskan pada perbuatan Allah.
Martin Luther (1483-1548)
PAK adalah pendidikan yang melibatkan warga jemaat untuk belajar teratur dan tertib agar semakin menyadari dosa mereka serta bersukacita dalam firman Yesus Kristus yang memerdekakan. Disamping itu PAK memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya yang berkaitan dengan pengalaman berdosa, firman tertulis (Alkitab) dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian dengan bertanggung jawab dalam persekutuan Kristen.
            John Calvin (1509-1664)
            PAK adalah pendidikan yang bertujuan mendidik semua putra-putri gereja agar mereka 1) terlibat dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dengan bimbingan Roh Kudus; 2) mengambil bagian dalam kebaktian dan memahami keesaan gereja; 3) diperlengkapi untuk memilih cara-cara mengejawatahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus dengan pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah demi kemuliaan-Nya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.
            Dewan Nasional Gereja-Gereja Kristus di USA (1952)
PAK adalah proses pengajaran agar pelajar yang semakin bertumbuh ditolong menafsirkan dan mempertimbangkan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini PAK memanfaatkan sumber pengalaman beragama yang diperoleh umat manusia sepanjang abad, agar menghasilkan gaya hidup kristiani. Tujuan PAK adalah memampukan orang untuk menyadari kasih Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus, dan menanggapi kasih tersebut melalui iman dan saran yang akan menolong mereka bertumbuh sebagai anak Allah, hidup sesuai dengan kehendak Allah, dan bersekutu dengan sesama.
            Sidang Raya Gereja Presyterian USA (1947)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mengajar jemaat untuk menjadi murid Yesus Kristus. Mereka diharapkan dapat menemukan kehendak Allah, kemudian melaksanakanya di lingkungan  setempat, nasional dan internasional (2006:2-3).

Menurut penulis PAK adalah kegiatan yang berusaha untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik kepada ketaatan dan pengabdian kepada Allah dan Firman-Nya sesuai dengan ajaran agama Kristen yang berdasarkan Alkitab. Serta bertujuan untuk menciptakan perdamaian, keadilan, kasih, toleran, dan setara, dalam perbedaan.

Dari beberapa definisi Pendidikan Agama Kristen (PAK), penulis menyadari bahwa PAK itu penting bagi pendidikan di gereja maupun di sekolah. Sesungguhnya gereja adalah tempat pertama bagi penyelenggara PAK dalam rangka pembangunan iman warga jemaat. Dari gereja PAK terus berkembang ke luar gereja seperti masyarakat, sekolah, maupun keluarga. Dalam bentuk penginjilan kerumah-rumah, memberikan sumbangsih pengajaran dalam sekolah, serta membantu masyarakat disekitarnya.

Pendidikan Agama Kristen kini telah dihadapkan dengan realitas kemajemukan masyarakat dan peserta didik di sekolah. Pendidikan jika dipahami sebagai sebuah proses untuk membantu warga gereja dan peserta didik, agar cakap berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat secara kreatif, inovatif, dan imajinatif, maupun mengambil keputusan secara mandiri, serta memiliki sikap dan perilaku baik, serta arif dan kritis, mau tidak mau harus menyentuh realitas kemajemukan masyarakatnya (Kurniawati, 2014:53). 

Supaya Pendidikan Agama Kristen mampu mewujudkan tujuan Kerajaan Allah atas seluruh ciptaan. Kerajaan Allah adalah kehendak Allah agar semua orang hidup dalam perdamaian dan keadilan, kasih dan kebebasan, keutuhan dan kepenuhan hidup (Shalom). Kerajaan Allah merupakan situasi di mana Allah memerintah secara dinamis, berdasarkan perjanjian Allah dan manusia (kasih, kebebasan, kedamaian dan keadilan, bersimpati pada yang lemah, tanpa diskriminasi). Kerajaan Allah bukan sebuah tempat yang statis. Pendidikan dalam Kerajaan Allah adalah pendidikan yang membentuk pribadi seseorang menjadi pelaku sejarah dalam Kerajaan Allah (Kurniawati, 2014:79).

Berkaitan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, maka Pendidikan Agama Kristen di sekolah harus turut menyumbang pembinaan agar kemajemukan tersebut tetap sebagai potensi yang bisa memungkinkan masyarakat hidup berdampingan secara damai. Kehadiran PAK di sekolah harus secara sungguh-sungguh turut menyumbang peranannya dalam membentuk peserta didik siap dan mampu menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada dengan tetap setia pada imannya.

Melihat dari kemajemukan masyarakat Indonesia, dalam menerapkan pendidikan agama, belum tercapai dengan baik. Nilai-nilai yang diterapkan kepada peserta didik belum menghasilkan suatu perdamaian, hidup berdampingan dan setara. 

Mahfud mengatakan tentang konteks kemajemukan masyarakat Indonesia, mengenai pelaksanaan pendidikan agama di sekolah belum tercapai dengan baik, masih banyak konflik tentang agama di sekolah-sekolah maupun di luar sekolah. Maka dari itu pendidikan agama belum mencapai tujuan perdamaian antar sesama. Konflik mengenai agama di Indonesia sudah tidak asing lagi bahkan sering terjadi kita lihat secara langsung atau lewat berita di media masa. Menurut Mahfud tentang kemajemukan bangsa Indonesia ialah:
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Pada satu sisi keadaan ini memberi dampak yang poisitif, akan tetapi disisi lain tidak jarang berdampak negatif, karena faktor kemajemukan tersebut sering menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat. Konflik tersebut pada akhirnya mengganggu stabilitas keamanan, sosial-ekonomi dan ketidakharmonisan sosial (20011:185).

Konflik dalam situaisi kemajemukan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor agama saja, melainkan juga ada konflik antar suku, ras etnis dan antar golongan masyarakat. Konflik tersebut dikarenakan, adanya prasangka-prasangka yang negatif, seperti rasisme, kebencian etnik, dan fanatisme agama. Sehingga dari prasangka-prasangka tersebut menyebabkan ketidakharmonisan sosial di masyarakat maupun di dunia pendidikan.

Kemudian Yangin dalam melihat konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, setiap orang mendapatkan tempat untuk memeluk agamanya sendiri yang terdapat di dalam Pancasila telah dijelaskan sebagai berikut:
Pilar Pembangunan Masa Depan Indonesia menjelaskan dengan sila pertama Pancasila, setiap agama dan pemeluknya mendapat tempat dan kesempatan untuk merealisasikan imannya terhadap Tuhan dalam kebersaman dengan yang tidak seagama dalam wadah negara yang berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa dalam wadah negara Pancasila yang berketuhanan, tidak ada tempat bagi usaha-usaha untuk mementingkan kelompok, suku, agama, dan keyakinannya, apalagi mencurigai agama lain dan menganggap agama dan keyakinannya yang lebih benar dari agama orang lain (2010:90).

Setiap orang berhak untuk beragama dan mendalami agamanya, dalam konteks Indonesia dengan berdasarkan sila pertama Pancasila. Dengan kata lain, setiap orang diberikan kesempatan untuk belajar dan mendalami agamanya, sekaligus belajar setiap agama yang  ada di Indonesia. Untuk merealisasikan agamanya melalui setiap iman pemeluk agamanya tersebut.

Pendidikan Agama Kristen telah dihadapkan dalam konteks Indonesia yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi: agama, adat istiadat, suku, ras, kebudaya, tingkat sosial maupun golongan. Umumnya pada masyrakat majemuk mengenai agama, adat istiadat, suku, ras, dan kebudaya. Hal-hal yang seperti ini bisa saling bersentuhan maupun saling mempengaruhinya. Dari sentuhan-sentuhan keyakinan ini akan saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sentuhan-sentuhan ini bisa lewat pendidikan formal, non formal, maupun pengaruh lingkungan masyarakat. Seringkali hal ini menjadi sumber konflik intern maupun antar masyrakat, dengan adanya diskriminasi yang bersifat rasis terhadap individu maupun  masyarakat. Dengan melihat konteks kemajemukan masyarakat Indonesia seperti ini, maka pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran.

Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang penuh alternatif dalam upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan multikultural. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab  moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multikultural.  Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan di masa yang akan datang.

Dari perspektif pendidikan, kemajemukan dalam budaya, bahasa, suku bangsa, dan agama di Indonesia dapat menjadi sumber-sumber yang kaya dan membanggakan, namun demikian kenyataan ini juga mengundang banyaknya konflik dan masalah, karena terbentuknya sikap intoleran, kebencian, dan kekerasan yang terus menerus terjadi di wilayah ini. Oleh sebab itu, persoalan yang mendesak bagi orang-orang Indonesia adalah bagaimana setiap komunitas agama-agama ini mampu membangun dialog dan kepercayaan dalam kehidupan bersama (social cohesian) sehingga “point of view” dan budaya yang dianut melalui agama mereka masing-masing tidak harus menjadi benturan yang justru merusak dan menghancurkan (Kurniawati, 2014:26). 

Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural akan sulit mencapai keterpaduan sosial (social cohesian). Sebab masing-masing kelompok berada dalam lingkup pergaulan yang eksklusif. Akibatnya terbuka kemungkinan stereotip, prasangka serta kesalahpahaman budaya dan agama tumbuh dan berkembang dengan subur. Akibat dari tidak adanya keterpaduan sosial ini usaha untuk membentuk kehendak bersama sebagai suatu bangsa menjadi persoalan yang rumit dan membutuhkan waktu relatif panjang. 

Maka dari itu dibutuhkan pendidikan multikultural di dalam konteks masyarakat majemuk  dan juga multikultural di Indonesia. Meskipun untuk mengatasi konflik antar agama dan kelompok berdasarkan identitas kulturnya ini tidak mudah. Diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk dan pendekatan yang sesuai untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk-bentuk yang sesuai untuk Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisa budaya atas masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural itu, tetapi juga meminta suatu kerja keras untuk melaksanakannya. 

Gagasan multikulturalisme bukan hanya merupakan suatu yang abstrak melainkan pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikulturalisme tidak akan berhenti pada pengakuan akan identitas suatu kelompok masyarakat atau suatu  suku, tetapi juga ditujukan pada terwujudnya intergrasi nasional melalui budaya yang beraneka ragam (Tilaar, 2009:206).

0 comments