Enam Level Identitas Kultur Menurut Banks

Enam Level Identitas Kultur Bagi Peserta Didik




Dalam pembelajaran peserta didik mempunyai kesempatan untuk belajar dengan hal-hal sedemikian rupa. Contohnya yaitu: dengan memahami setiap perbedaan budaya, etnis, ras, dan kelas sosial, keadilan, dan kesetaraan.


Dengan ini guru/fasilitator perlu memahami identitas kultur yang dimiliki setiap peserta didik. Banks mengemukakan ada 6 level dari identitas kultur, yang telah dikutip oleh Kurniawati yaitu:
Level 1: Cultural Psychological Captivity. Yang artinya dalam level 1 ini, individu memandang secara negatif identitas dan identifikasi kelompok budayanya, karena beban sejarahnya yang dipenuhi oleh stigmatisasi, diskriminasi, dan konflik yang bersifat rasial. Ia menutup diri terhadap kelompok budaya lain dan bersikap agresif untuk berasimilasi. Identitas seperti ini yang seharusnya perlu dipahami oleh guru/fasilitator, tidak semua peserta didik mampu beradaptasi, dan sharing atau terbuka dengan setiap kelompok budaya yang lain.

Level 2: Cultural Encapsulation/Cultural Exclusiveness/Separatisme. Dalam level 2 ini setiap individu lebih aktif secara penuh kepada kelompok budayanya, dan menganggap budayanya yang paling baik, dari pada kelompok budaya yang lain. Sehingga kelompok yang lain dijadikan sebagai pesaing atau musuh yang harus disingkirkan/dihancurkan.

Level 3: Cultural Clarification. Yang artinya individu mampu mengklarifikasi indentitas diri dan kelompoknya, dan mengembangkan karakter yang positif dari kelompok budayanya. Ia mampu menerima dan merespons secara positif identitas dan kelompok budaya lain dari perspektif yang berbeda. Dalam level 3 ini, individu sudah mulai bisa untuk membuka diri untuk kelompok lain, dan sudah bisa untuk mengontrol diri dan berpikir positif.

Level 4: Biculturalism. Dalam level 4 ini, individu memiliki identitas budaya dan karakteristik psikologis yang sehat. Ia mampu menjadi partisipan sama baiknya di dalam dan di luar kelompoknya, dan termotivasi untuk berfungsi secara efektif di dalam dua budaya. Dalam sikap diri individu dan karakter psikologis yang sehat ini, memang seharusnya dibutuhkan dalam setiap individu, supaya mencapai level yang diinginkan oleh setiap guru/fasilitator. Sehingga menciptakan hubungan yang sehat dan damai dengan setiap kelompok yang lain.

Level 5: Multiculturalism dan Reflective Nationalism. Dalam level 5 ini, individu mampu berpikir secara reflektif dan positif terhadap budaya dan identitas nasionalnya. Ia bersikap positif terhadap kelompok budaya, etnis dan ras yang berbeda, serta memiliki komitmen untuk berfungsi secara efektif di dalam budaya komunitas yang berbeda-beda. Identitas individu juga ada yang sedemikian rupa, level 5 ini sudah mencapai tahap kesadaran dalam diri setiap pribadi individu. Sehingga mampu untuk berpikir positif dan berefleksi.

Level 6: Globalism dan Global Competency. Dalam level 6 ini, individu memiliki identitas world-view dan kompetensi yang mendunia, sehingga ia mampu menginternalisasikan nilai-nilai etis yang bersifat universal, prinsip-prinsip kemanusiaan dan memiliki keterampilan, kompetensi serta komitmen yang diperlukan untuk memberikan kontribusinya. Relasi sosial yang dimiliki individu ini mempunyai kerja nyata dalam bentuk tindakan konkret, sehingga menentukan masa depan identitas dan eksistensi kewargaan individu secara global.

Keenam level ini, dalam proses perkembangannya, bergerak secara gradual bukan linear karena setiap kelompok budaya memiliki identitas yang multikultural dan karakteristik yang unik serta berbeda dari kelompok budaya, etnis dan ras lainnya (Kurniawati, 2014:110-112).


Maka dari keenam level ini, pendidik/fasilitator harus bisa memahami identitas kultur yang telah dimiliki peserta didik. Pendidikan multikultural yang mampu untuk menjalankan setiap proses pembelajaran, dalam melihat identitas kultur setiap individu, untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

Pendidikan multikultural berusaha menciptakan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik yang berasal dari ras, suku, agama, budaya, dan kelas social yang berbeda. Pendidikan ini bergerak untuk memahami dan menerima keanekaragaman sebagai bagian eksistensi manusia. Model ini membuka indera peserta didik bahwa perbedaan merupakan bagian dari dirinya.

0 comments